28 July 2009

TANATOLOGI

Tanatologi berasal dari kata thanatos (yang berhubungan dengan kematian) dan logos (ilmu). Tanatologi adalah bagian dari ilmu kedokteran forensik yang mempelajari kematian dan perubahan yang terjadi setelah kematian serta faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut.


KEMATIAN
1. Definisi
Kematian adalah berakhirnya proses kehidupan seluruh tubuh, proses yang dapat dikenal secara klinis dengan tanda kematian berupa perubahan pada tubuh mayat.

2. Penyebab, Cara dan Mekanisme dari Kematian
Penyebab kematian adalah adanya perlukaan atau penyakit yang menimbulkan kekacauan fisik pada tubuh yang menghasilkan kematian pada seseorang. Berikut ini adalah penyebab kematian: luka tembak pada kepala, luka tusuk pada dada, adenokarsinoma pada paru-paru, dan aterosklerosis koronaria.

Mekanisme kematian adalah kekacauan fisik yang dihasilkan oleh penyebab kematian yang menghasilkan kematian. Contoh dari mekanisme kematian dapat berupa perdarahan, septikemia, dan aritmia jantung. Ada yang dipikirkan adalah bahwa suatu keterangan tentang mekanime kematian dapat diperoleh dari beberapa penyebab kematian dan sebaliknya. Jadi, jika seseorang meninggal karena perdarahan masif, itu dapat dihasilkan dari luka tembak, luka tusuk, tumor ganas dari paru yang masuk ke pembuluh darah dan seterusnya. Kebalikannya adalah bahwa penyebab kematian, sebagai contoh, luka tembak pada abdomen, dapat menghasilkan banyak kemungkinan mekanisme kematian yang terjadi, contohnya perdarahan atau peritonitis.

Cara kematian menjelaskan bagaimana penyebab kematian itu datang. Cara kematian secara umum dapat dikategorikan sebagai wajar, pembunuhan, bunuh diri, kecelakaan, dan yang tidak dapat dijelaskan (pada mekanisme kematian yang dapat memiliki banyak penyebab dan penyebab yang memiliki banyak mekanisme, penyebab kematian dapat memiliki banyak cara). Seseorang dapat meninggal karena perdarahan masif (mekanisme kematian) dikarenakan luka tembak pada jantung (penyebab kematian), dengan cara kematian secara pembunuhan (seseorang menembaknya), bunuh diri (menembak dirinya sendiri), kecelakaan (senjata jatuh), atau tidak dapat dijelaskan (tidak dapat diketahui apa yang terjadi).


3. Jenis Kematian
a. Mati somatis (mati klinis atau sistematis)
adalah terhentinya ketiga sistem penunjang kehidupan (sistem pernapasan, sistem kardiovaskular, dan sistem susunan saraf pusat) secara irreversibel sehingga menyebabkan terjadinya anoksia jaringan yang lengkap dan menyeluruh. Jadi stadium kematian ini telah sampai pada kematian otak yang irreversibel (brain death irreversible). Secara klinis tidak ditemukan refleks-refleks, EEG mendatar, nadi tidak teraba, denyut jantung tidak terdengar, tidak ada gerakan pernafasan dan suara pernafasan tidak terdengar pada auskultasi. yang bersifat menetap.

b. Mati seluler (mati molekuler)
adalah berhentinya aktivitas sistem jaringan, sel, dan molekuler tubuh, sehingga terjadi kematian organ atau jaringan tubuh yang timbul beberapa saat setelah kematian somatis. Daya tahan hidup masing-masing organ atau jaringan berbeda-beda, sehingga terjadinya kematian seluler pada tiap organ atau jaringan tidak bersamaan, hal ini penting dalam transplantasi organ. Sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa susunan saraf pusat mengalami mati seluler dalam empat menit, otot masih dapat dirangsang (listrik) sampai kira-kira dua jam paska mati dan mengalami mati seluler setelah empat jam, dilatasi pupil masih terjadi pada pemberian adrenalin 0,1 persen atau penyuntikan sulfas atropin 1 persen kedalam kamera okuli anterior, pemberian pilokarpin 1 persen atau fisostigmin 0,5 persen akan mengakibatkan miosis hingga 20 jam paska mati. Kulit masih dapat berkeringat sampai lebih dari 8 jam paska mati dengan cara menyuntikkan subkutan pilokarpin 2 persen atau asetil kolin 20 persen, spermatozoa masih dapat bertahan hidup beberapa hari dalam epididimis, kornea masih dapat ditransplantasikan dan darah masih dapat dipakai untuk transfusi sampai enam jam pasca-mati.

c. Mati suri (suspended animation, apparent death)
adalah terhentinya ketiga sistem kehidupan diatas yang ditentukan dengan alat kedokteran sederhana. Dengan peralatan kedokteran canggih masih dapat dibuktikan bahwa ketiga sistem tersebut masih berfungsi. Mati suri sering ditemukan pada kasus keracunan obat tidur, tersengat aliran listrik, dan tenggelam

d. Mati serebral
adalah kerusakan kedua hemisfer otak yang ireversibel kecuali batang otak dan serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya yaitu sistem pernapasan dan kardiovaskular masih berfungsi dengan bantuan alat.

e. Mati otak (mati batang otak)
adalah bila terjadi kerusakan seluruh isi neuronal intrakranial yang ireversibel, termasuk batang otak dan serebelum. Dengan diketahuinya mati otak (mati batang otak) maka dapat dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi, sehingga alat bantu dapat dihentikan.

4. Tanda Kematian
1) Tanda kematian tidak pasti:
- Pernapasan berhenti, dinilai selama lebih dari 10 menit (inspeksi, palpasi, dan auskultasi).
- Sirkulasi berhenti, dinilai selama 15 menit, nadi karotis tidak teraba.
- Perubahan pada kulit (pucat)
- Relaksasi otot dan tonus menghilang. Relaksasi dari otot-otot wajah menyebabkan kulit menimbul sehingga kadang-kadang membuat orang menjadi lebih awet muda. Kelemasan otot sesaat setelah kematian disebut relaksasi primer, hal ini menyebabkan pendataran daerah-daerah yang tertekan, misalnya daerah bokong dan belikat pada mayat terlentang.
- Segmentasi pembuluh darah retina beberapa menit sebelum kematian. Segmen-segmen tersebut bergerak ke arah tepi retina kemudian menetap
- Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10 menit yang masih dapat dihilangkan dengan meneteskan air.

2) Tanda kematian pasti:

a. Lebam mayat (Livor mortis)
Nama lain ligor mortis adalah lebam mayat, post mortem lividity, post mortem hypostatic, post mortem sugillation, atau vibices. Setelah kematian klinis maka eritrosit akan menempati tempat terbawah karena gaya tarik bumi (gravitasi), mengisi vena dan venula, membentuk bercak berwarna merah ungu (livide) pada bagian terbawah tubuh, kecuali pada bagian tubuh yang terkena alas keras. Darah tetap cair karena adanya pembuluh darah.

Livor mortis biasanya muncul antara 30 menit sampai 2 jam setelah kematian. Lebam mayat muncul bertahap, biasanya mencapai perubahan warna yang maksimal dalam 8-12 jam. Sebelum menetap, lebam mayat akan berpindah bila tubuh mayat dipindahkan. Lebam mayat menetap tidak lama setelah perpindahan atau turunnya darah, atau ketika darah keluar dari pembuluh darah ke sekeliling jaringan lunak yang dikarenakan hemolisis dan pecahnya pembuluh darah. Fiksasi dapat terjadi setelah 8-12 jam jika dekomposisi terjadi cepat, atau pada 24-36 jam jika diperlambat dengan suhu dingin. Untuk mengetahui bahwa lebam mayat belum menetap dapat didemostrasikan dengan melakukan penekanan ke daerah yang mengalami perubahan warna dan tidak ada kepucatan pada titik dimana dilakukan penekanan.

Menetapnya lebam mayat disebabkan oleh tertimbunnya sel-sel darah dalam jumlah cukup banyak sehingga sulit berpindah lagi. Selain itu kekakuan otot-otot dinding pembuluh darah ikut mempersulit perpindahan tersebut. Lebam mayat yang belum menetap atau masih hilang pada penekanan menunjukkan saat kematian kurang dari 8-12 jam saat pemeriksaan.

Ada 3 faktor yang mempengaruhi lebam mayat, yaitu:
1.Volume darah yang beredar
Volume darah yang banyak menyebabkan lebam mayat lebih cepat terbentuk dan lebih luas, sebaliknya volume darah sedikit menyebabkan lebam mayat lebih lambat terbentuk dan terbatas.
2.Lamanya darah dalam keadaan cepat cair
Lamanya darah dalam keadaan cepat cair tergantung dari fibrinolisin dan kecepatan koagulasi post-mortem.
3.Warna lebam
Ada 5 warna lebam mayat yang dapat kita gunakan untuk memperkirakan penyebab kematian, yaitu:
* Merah kebiruan merupakan warna lebam normal.
* Merah terang menandakan keracunan CO, keracunan CN, atau suhu dingin.
* Merah gelap menunjukkan asfiksia
* Biru menunjukkan keracunan nitrit.
* Coklat menandakan keracunan aniline.

Walaupun lebam mayat mungkin membingungkan dengan memar, memar sangat jarang dibingungkan dengan lebam mayat. Penekanan pada daerah yang memar tidak akan menyebabkan kepucatan. Insisi pada daerah yang mengalami kontusio atau memar menunjukkan perdarahan yang menyebar ke jaringan lunak. Perbedaannya, insisi pada daerah dengan lebam mayat menampakkan darah sebatas di pembuluh darah, tanpa darah di jaringan lunak. Lebam mayat dapat kita temukan dalam organ tubuh dalam mayat. Masing-masing sesuai dengan posisi mayat:

*Lebam mayat pada kulit mayat dengan posisi mayat terlentang dapat kita lihat pada belakang kepala, daun telinga, ekstensor lengan, fleksor tungkai, ujung jari di bawah kuku, dan kadang-kadang di samping leher. Tidak ada lebam yang dapat kita lihat pada daerah skapula, gluteus dan bekas tempat dasi.
*Lebam mayat pada kulit mayat dengan posisi mayat tengkurap dapat kita lihat pada dahi, pipi, dagu, bagian ventral tubuh, dan ekstensor tungkai.

*Lebam mayat pada kulit mayat dengan posisi mayat tergantung dapat kita lihat pada ujung ekstremitas dan genitalia eksterna.

*Lebam mayat pada organ dalam mayat dengan posisi mayat terlentang dapat kita temukan pada posterior otak besar, posterior otak kecil, dorsal paru-paru, dorsal hepar, dorsal ginjal, posterior dinding lambung, dan usus bawah (dalam rongga panggul).

Medikolegal lebam mayat:
*Merupakan tanda kematian.
*Menentukan posisi mayat dan penyebab kematian.
*Memperkirakan saat kematian.

Livor mortis tidak terlalu penting dalam menentukan waktu kematian. Bagaimanapun, itu penting dalam menentukan apakah tubuh mayat telah dipindahkan.

b. Kaku mayat (Rigor mortis)
Rigor mortis atau kekakuan dari tubuh mayat setelah kematian dikarenakan menghilangnya adenosine trifosfat (ATP) dari otot. ATP adalah sumber utama dari energi untuk kontraksi otot. Otot memerlukan pemasukan yang berkelanjutan dari ATP untuk berkontraksi karena jumlah yang ada hanya cukup untuk menyokong kontraksi otot selama beberapa detik. Pada ketiadaan dari ATP, filament aktin dan myosin menjadi kompleks yang menetap dan terbentuk rigor mortis. Kompleks ini menetap sampai terjadi dekomposisi.

Penggunaan yang banyak dari otot sebelum kematian akan menimbulkan penurunan pada ATP dan mempercepat onset terjadinya rigor mortis, hingga tidak ada ATP yang diproduksi setelah kematian. Beberapa faktor yang menyebabkan penurunan yang bermakna pada ATP menjelang kematian adalah olahraga yang keras atau berat, konvulsi yang parah, dan suhu tubuh yang tinggi.

Kejadian yang seketika dari rigor mortis diketahui sebagai kadaverik spasme. Rigor mortis menghilang dengan timbulnya dekomposisi.

Pendinginan atau pembekuan akan menghambat onset dari rigor mortis selama dibutuhkan. Rigor mortis dapat “broken” dengan peregangan yang pasif dari otot-otot. Setelah rigor mortis “broken”, itu tidak akan kembali. Jika hanya sebagian rigor mortis yang dilakukan peregangan, maka masih akan ada sisa rigor mortis yang “unbroken”.

Rigor mortis biasanya muncul 2-4 jam setelah kematian, dan muncul keseluruhan dalam 6-12 jam. Ini dapat berubah-rubah. Ketika rigor mortis terjadi, menyerang semua otot-otot pada saat yang bersamaan dan kecepatan yang sama. Namun tampak lebih jelas pada otot-otot yang lebih kecil, hal ini disebabkan otot kecil memiliki lebih sedikit cadangan glikogen. Jadi rigor mortis dikatakan muncul pertama kali pada otot-otot yang lebih kecil seperti rahang, dan berurutan menyebar ke kelompok otot besar. Penampakan awal dari rigor mortis adalah pada rahang, ektremitas atas dan ekstremitas bawah. Kira-kira 0-4 jam pasca mati klinis, mayat masih dalam keadaan lemas, ini yang disebut relaksasi primer. Kemudian terbentuk rigor mortis. Setelah 36 jam pasca mati klinis, tubuh mayat akan lemas kembali sesuai urutan terbentuknya kekakuan, ini disebut relaksasi sekunder.

Keadaan-keadaan yang mempercepat terjadinya rigor mortis, antara lain aktivitas fisik sebelum kematian, suhu tubuh tinggi, suhu lingkungan tinggi, usia anak-anak dan orang tua, dan gizi yang buruk.

Ada 4 kegunaan rigor mortis:
1. Menentukan lama kematian.
2. Menentukan posisi mayat setelah terjadi mortis.
3. Merupakan tanda pasti kematian.
4. Menentukan saat kematian.

c. Penurunan suhu tubuh (algor mortis)
Algor mortis adalah penurunan suhu tubuh mayat akibat terhentinya produksi panas dan terjadinya pengeluaran panas secara terus-menerus. Pengeluaran panas tersebut disebabkan perbedaan suhu antara mayatdengan lingkungannya. Suhu tubuh pada orang meninggal secara bertahap akan sama dengan lingkungan atau media sekitarnya karena metabolisme yang menghasilkan panas terhenti setelah orang meninggal. Pada jam pertama setelah kematian, penurunan suhu berjalan lambat karena masih ada produksi panas dari proses gilkogenolisis dan sesudah itu penurunan akan cepat terjadi dan menjadi lambat kembali. Gambaran kurva penurunan suhu ini seperti huruf ‘S’ terbalik (sigmoid).

Penurunan suhu tubuh dipengaruhi:
1.Faktor lingkungan (media).
Penurunan suhu tubuh cepat bila ada perbedaan besar suhu lingkungan dengan tubuh mayat. Semakin rendah suhu media tempat mayat terletak semakin cepat penurunan suhu tubuh mayat. Penurunan suhu akan cepat bila intensitas aliran udara besar, udara yang mengalir, dan udara lembab.

2.Keadaan fisik tubuh.
Penurunan suhu tubuh makin lambat bila jaringan lemak dan otot makin tebal. Pada mayat dengan tubuh kurus akan lebih cepat dibanding yang gemuk.

3.Usia.
Penurunan suhu akan cepat pada anak dan orang tua. Pada bayi akan lebih cepat karena luas tubuh permukaan bayi lebih besar.

4.Pakaian yang menutupi.
Makin berlapis pakaian menutupi tubuh, penurunan suhu makin lambat.

5.Suhu tubuh sebelum kematian.
Penyakit dengan suhu tubuh tinggi pada saat meninggal seperti kerusakan jaringan otak, perdarahan otak, infeksi, asfiksia, penjeratan akan didahului peningkatan suhu tubuh, hal ini menyebabkan penurunan suhu tubuh lebih cepat.

Beberapa dokter mencoba untuk menentukan berapa lama eseorang telah meninggal dari suhu tubuhnya. Penentuan waktu kematian dari

suhu tubuh biasanya ditegakkan dengan menggunakan rumus. Nomor dari rumus tersebut telah ditemukan, beberapa mungkin sedikit membingungkan. Ada dua rumus yang paling mudah digunakan adalah:

1.Waktu sejak kematian = 37oC – Suhu rektal (⁰C) + 3
98.6oF – Suhu rektal (⁰F)

2.Waktu sejak kematian = 1.5

Masalah pada semua rumus-rumus yang menggunakan suhu tubuh untuk menetukan waktu kematian adalah bahwa mereka berdasarkan dari asumsi bahwa suhu tubuh pada saat waktu kematian adalah “normal”. Masalah yang kedua: Walaupun jika kita tahu berapa suhu normal itu, apakah pada waktu kematian, suhu dalam keadaan normal? Olahraga berat dapat meningkatkan suhu rektal sampai 104oF. Infeksi secara nyata dapat meningkatkan suhu tubuh. Perdarahan intraserebral atau perlukaan otak dapat membuat sistem termoregulasi dari batang otak tidak berfungsi, yang menyebabkan peningkatan dari suhu tubuh. Paparan oleh dingin dapat menyebabkan hipotermia, yaitu penurunan suhu tubuh.

d. Pembusukan (dekomposisi)
Dekomposisi terbentuk oleh dua proses: autolisis dan putrefaction. Autolisis menghancurkan sel-sel dan organ-organ melalui proses kimia aseptik yang disebabkan oleh enzim intraselular. Proses kimia ini, dipercepat oleh panas, diperlambat oleh dingin, dan dihentikan oleh pembekuan atau penginaktifasi enzim oleh pemanasan. Organ-organ yang kaya dengan enzim akan mengalami autolisis lebih cepat daripada organ-organ dengan jumlah enzim yang lebih sedikit. Jadi, pankreas mengalami autolisis lebih dahulu daripada jantung.

Bentuk kedua dari dekomposisi, yang mana pada setiap individu berbeda-beda adalah putrefaction. Ini disebabkan oleh bakteri dan fermentasi. Setelah kematian, bakteri flora dari traktus gastrointestinal meluas keluar dari tubuh, menghasilkan putrefaction. Ini mempercepat terjadinya sepsis seseorang karena bakteri telah meluas keseluruh tubuh sebelum kematian.

Onset dari putrefaction tergantung pada dua faktor utama: lingkungan dan tubuh. Pada iklim panas, yang lebih penting dari dua faktor tersebut adalah lingkungan. Banyak penulis akan memberikan rangkaian dari kejadian-kejadian dari proses dekomposisi dari tubuh mayat. Yang pertama adalah perubahan warna menjadi hijau pada kuadran bawah abdomen, sisi kanan lebih daripada sisi kiri, biasanya pada 24-36 jam pertama. Ini diikuti oleh perubahan warna menjadi hijau pada kepala, leher, dan pundak; pembengkakan dari wajah disebabkan oleh perubahan gas pada bakteri; dan menjadi seperti pualam. Seperti pualam ini dihasilkan oleh hemolisis dari darah dalam pembuluh darah dengan reaksi dari hemoglobin dan sulfida hydrogen dan membentuk warna hijau kehitaman sepanjang pembuluh darah. Lama kelamaan tubuh mayat akan menggembung secara keseluruhan (60-72 jam) diikuti oleh formasi vesikel, kulit menjadi licin, dan rambut menjadi licin. Pada saat itu, tubuh mayat yang pucat kehijauan menjadi warna hijau kehitaman.

Kegembungan pada tubuh mayat sering terlihat pertama kali pada wajah, dimana bagian-bagian dari wajah membengkak, mata menjadi menonjol dan lidah menjulur keluar antara gigi dan bibir. Wajah berwarna pucat kehijauan, berubah menjadi hijau kehitaman, kemudian menjadi hitam. Cairan dekomposisi (cairan purge) akan keluar dari mulut dan hidung. Dekomposisi berlanjut, darah yang terhemolisis merembes keluar ke jaringan.

Dekomposisi terjadi cepat pada obesitas, pakaian yang tebal, dan sepsis, semua yang mempertahankan tubuh tetap hangat. Dekomposisi diperlambat oleh pakaian yang tipis atau oleh tubuh yang berbaring pada permukaan yang terbuat dari besi atau batu yang mana lebih cepat menjadi dingin karena terjadi konduksi. Tubuh mayat yang membeku tidak akan mengalami dekomposisi sampai di keluarkandari lemari es.

e. Mumifikasi
Pada lingkungan panas, iklim kering, tubuh mayat akan mengalami dehidrasi secara cepat dan akan lebih mengalami mumifikasi daripada dekomposisi. Pada saat kulit mengalami perubahan dari coklat menjadi hitam, organ-organ interna akan berlanjut memburuk, seringkali konsistensinya menurun menjadi berwarna seperti dempul hitam kecoklatan. Mumifikasi terjadi bila suhu hangat, kelembaban rendah, aliran udara yang baik, tubuh yang dehidrasi, dan waktu yang lama (12 – 14 minggu). Mumifikasi jarang dijumpai pada cuaca yang normal.


f. Adiposera
Adakalanya, tubuh mayat yang terdekomposisi akan bertransformasi ke arah adiposera. Adiposera adalah suatu bentuk tetap, berwarna putih keabu-abuan sampai coklat lilin seperti bahan yang membusuk dan berminyak, asam stearat. Ini dihasilkan oleh konversi dari lemak yang netral selama perbusukan ke asam yang tidak dapat dijelaskan. Hal tersebut lebih nyata pada jaringan subkutan, tetapi dapat terjadi dimana saja bila terdapat lemak. Adiposera adalah benar-benar suatu variasi dari putrefaction.

Hal ini terlihat paling sering pada tubuh yang dibenamkan dalam air atau dalam keadaan lembab, lingkungan yang hangat. Pada adiposera, lemak mengalami hidrolisis untuk melepaskan asam lemak jenuh dengan peranan dari lipase endogen dan enzim bacterial. Enzim bakterial, umumnya berasal dari Clostridium perfringens, yang mengubah asam lemak jenuh ini menjadi asam lemak hidroksi.4 Adiposera dikatakan memakan waktu beberapa bulan untuk berkembang, walaupun perkembangannya juga dapat terjadi singkat hanya selama beberapa minggu. Hal ini bergantung pada tingkat perlawanan dari bakteriologik dan degradasi dari kimia.

Perkiraan saat kematian
Selain perubahan pada mayat tersebut di atas, beberapa perubahan lain dapat digunakan untuk memperkirakan saat mati.

1.Perubahan pada mata. bila mata terbuka pada atmosfer yang kering, sklera di kiri-kanan kornea akan berwarna kecoklatan dalam beberapa jam berbentuk segitiga dengan dasar di tepi kornea (traches noires sclerotiques). Kekeruhan kornea terjadi lapis demi lapis. Kekeruhan yang terjadi pada lapis terluar dapat dihilangkan dengan meneteskan air, tetapi kekeruhan yang telah mencapai lapisan lebih dalam tidak dapat dihilangkan dengan tetesan air. Kekeruhan yang menetap ini terjadi sejak kira-kira 6 jam pasca mati. Baik dalam keadaan mata tertutup maupun terbuka, kornea menjadi keruh kira-kira 10 – 12 jam pasca mati dan dalam beberapa jam saja fundus tidak tampak jelas.

Setelah kematian tekanan bola mata menurun, memungkinkan distorsi pupil pada penekanan bola mata. Tidak ada hubungan antara diameter pupil dengan lamanya mati. Perubahan pada retina dapat menunjukkan saat kematian hingga 15 jam pasca mati. Hingga 30 menit pasca mati tampak kekeruhan makula dan mulai memucatnya diskus optikus. Kemudian hingga 1 jam pasca mati, makula lebih pucat dan tepinya tidak tajam lagi. Selama 2 jam pertama pasca mati, retina pucat dan daerah sekitar diskus menjadi kuning. Warna kuning juga tampak disekitar makula yang menjadi lebih gelap. Pada saat itu pola vaskular koroid yang tampak sebagai bercak-bercak dengan latar belakang merah dengan pola segmentasi yang jelas, tetapi pada kira-kira 3 jam pasca mati menjadi kabur dan setelah 5 jam menjadi homogen dan lebih pucat. Pada kira-kira 6 jam pasca mati, batas diskus kabur dan hanya pembuluh-pembuluh besar yang mengalami segmentasi yang dapat dilihat dengan latar belakang kuning kelabu. Dalam waktu 7 – 10 jam pasca mati akan mencapai tepi retina dan batas diskus akan sangat kabur. Pada 12 jam pasca mati diskus hanya dapat dikenali dengan adanya konvergensi beberapa segmen pembuluh darah yang tersisa. Pada 15 jam pasca mati tidak ditemukan lagi gambaran pembuluh darah retina dan diskus, hanya makula saja yang tampak berwarna coklat gelap.

2.Perubahan dalam lambung. Kecepatan pengosongan lambung sangat bervariasi, sehingga tidak dapat digunakan untuk memberikan petunjuk pasti waktu antara makan terakhir dan saat mati. Namun keadaan lambung dan isinya mungkin membantu dalam membuat keputusan. Ditemukannya makanan tertentu dalam isi lambung dapat digunakan untuk menyimpulkan bahwa korban sebelum meninggal telah makan makanan tersebut.

3.Perubahan rambut. Dengan mengingat bahwa kecepatan tumbuh rambut rata-rata 0,4 mm/hari, panjang rambut kumis dan jenggot dapat dipergunakan untuk memperkirakan saat kematian. Cara ini hanya dapat digunakan bagi pria yang mempunyai kebiasaan mencukur kumis atau jenggotnya dan diketahui saat terakhir ia mencukur.

4.Pertumbuhan kuku. Sejalan dengan hal rambut tersebut di atas, pertumbuhan kuku yang diperkirakan sekitar 0,1 mm per hari dapat digunakan untuk memperkirakan saat kematian bila dapat diketahui saat terakhir yang bersangkutan memotong kuku.

5.Perubahan dalam cairan serebrospinal. Kadar nitrogen asam amino kurang dari 14 mg% menunjukkan kematian belum lewat 10 jam, kadar nitrogen non-protein kurang dari 80 mg% menunjukkan kematian belum 24 jam, kadar kreatin kurang dari 5 mg% dan 10 mg% masing-masing menunjukkan kematian belum mencapai 10 jam dan 30 jam.

6.Dalam cairan vitreus terjadi peningkatan kadar kalium yang cukup akurat untuk memperkirakan saat kematian antara 24 – 100 jam pasca mati.

7.Kadar semua komponen darah berubah setelah kematian, sehingga analisis darah pasca mati tidak memberikan gambaran konsentrasi zat-zat tersebut semasa hidupnya. Perubahan tersebut diakibatkan oleh aktivitas enzim dan bakteri, serta gangguan permeabilitas dari sel yang telah mati. Selain itu gangguan fungsi tubuh selama proses kematian dapat menimbulkan perubahan dalam darah bahkan sebelum kematian itu terjadi. Hingga saat ini belum ditemukan perubahan dalam darah yang dapat digunakan untuk memperkirakan saat mati dengan lebih tepat.

8.Reaksi supravital, yaitu reaksi jaringan tubuh sesaat pasca mati klinis yang masih sama seperti reaksi jaringan tubuh pada seseorang yang hidup. Beberapa uji dapat dilakukan terhadap mayat yang masih segar, misalnya rangsang listrik masih dapat menimbulkan kontraksi otot mayat hingga 90 – 120 menit pasca mati dan mengakibatkan sekresi kelenjar keringat sampai 60 – 90 menit pasca mati, sedangkan trauma masih dapat menimbulkan perdarahan bawah kulit sampai 1 jam pasca mati.

Autopsi
Autopsi merupakan pemeriksaaan terhadap tubuh mayat, meliputi pemeriksaan terhadap bagian luar maupun bagian dalam, dengan tujuan menemukan proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atas penemuan-penemuan tersebut, menerangkan penyebabnya serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian.

Berdasarkan tujuannya, autposi dibagi menjadi :
1.Autopsi klinik, dilakukan terhadap mayat seseorang yang sebelumnya menderita suatu penyakit, dirawat dirumah sakit tetapi kemudian meninggal. Untuk autopsi ini mutlak diperlukan izin keluarga terdekat. Tujuan dilakukan autopsi klinik adalah :
*Menentukan sebab kematian yang pasti
*Menentukan apakah diagnosis klinis yang dibuat selama perawatan sesuai dengan diagnosa post mortem
*Mengetahui korelasi proses penyakit yang ditemuk€€an dengan diagnosis klinis, dan gejala-gejala klinik
*Menentukan efektifitas pengobatan
*Mempelajari perjalanan lazim suatu proses penyakit
*Pendidikan

2.Autopsi forensik, dilakukan terhadap mayat seseorang berdasarka peraturan undang-undang dengan tujuan :
*Membantu dalam hal penentuan identitas mayat
*Menentukan sebab pasti kematian, memperkirakan saat kematian, memperkirakan cara kematian
*Mengumpulkan serta mengenali benda-benda bukti untuk penentuan identitas benda penyebab serta identitas pelaku kejahatan
*Membuat laporan tertulis yang onyektif berdasarkan fakta dalam bentuk visum et repertum
*Melindungi orang yang tidak bersalah dan membantu orang dalam penentuan identitas serta penuntutan terhadap orang yang bersalah.

Untuk menentukan autopsi forensik ini, diperlukan suatu surat permintaan visum dari yang berwenang, dalam hal ini adalah penyidik. Izin keluarga tidak diperlukan, bahkan apabila ada seseorang yang menghalang-halangi dapat ditindak sesuai undang-undang yang berlaku.

1. Autopsi pada Kasus Kematian akibat Kekerasan
Berdasarkan sifat serta penyebabnya, kekerasan dapat dibedakan atas kekerasan yang bersifat :

a.Mekanik
*Kekerasan oleh benda tajam
*Kekerasan oleh benda tumpul
*Tembakan senjata api
b.Fisika
*Suhu
*Listrik dan petir
*Perubahan tekanan udara
*Akustik
*Radiasi
c.Kimia
Asam atau basa kuat

Pada kematian akibat kekerasan, pemeriksaan terhadap luka harus dapat mengungkapkan berbagai hal tersebut di bawah ini.
1)Penyebab luka.
Dengan memperhatikan morfologi luka, kekerasan penyebab luka dapat ditentukan. Pada kasus tertentu, gambaran luka seringkali dapat memberi petunjuk mengenai bentuk benda yang mengenai tubuh, misalnya luka yang disebabkan oleh benda tumpul berbentuk bulat panjang akan meninggalkan negative imprint oleh timbulnya marginal haemorrhage. Luka lecet jenis tekan memberikan gambaran bentuk benda penyebab luka.

2)Arah kekerasan.
Pada luka lecet jenis geser dan luka robek, arah kekerasan dapat ditentukan. Hal ini sangat membantu pihak yang berwajib dalam melakukan rekonstruksi terjadinya perkara.

3)Cara terjadinya luka.
Yang dimaksudkan dengan cara terjadinya luka adalah apakah luka yang ditemukan terjadi sebagai akibat kecelakaan, pembunuhan atau bunuh diri.

Luka-luka akibat kecelakaan biasanya terdapat pada bagian tubuh yang terbuka. Bagian tubuh yang biasanya terlindung jarang mendapat luka pada suatu kecelakaan. Daerah terlindung ini misalnya adalah daerah sisi depan leher, daerah lipat siku, dan sebagainya.

Luka akibat pembunuhan dapat ditemukan tersebar pada seluruh bagian tubuh. Pada korban pembunuhan yang sempat mengadakan perlawanan, dapat ditemukan luka tangkis yang biasanya terdapat pada daerah ekstensor lengan bawah atau telapak tangan.

Pada korban bunuh diri, luka biasanya menunjukkan sifat luka percobaan (tentative wounds) yang mengelompok dan berjalan kurang lebih sejajar.

4)Hubungan antara luka yang ditemukan dengan sebab mati.
Harus dapat dibuktikan bahwa terjadinya kematian semata-mata disebabkan oleh kekerasan yang menyebabkan luka. Untuk itu pertama-tama harus dapat dibuktikan bahwa luka yang ditemukan adalah benar-benar luka yang terjadi semasa korban masih hidup (luka intravital). Untuk ini, tanda intravitalitas luka berupa reaksi jaringan terhadap luka perlu mendapat perhatian. Tanda intravitalitas luka dapat bervariasi dari ditemukannya resapan darah, terdapatnya proses penyembuhan luka, sebukan sel radang, pemeriksaan histo-enzimatik, sampai pemeriksaan kadar histamin bebas dan serotonin jaringan

1.Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Forensik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1997
2.Mun’im A. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi I. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997
3.Teknik Autopsi Forensik. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Forensik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2000

Sumber: dari sini

No comments:

Post a Comment